Pendidikan Adalah

Diposting pada

Selamat datang di Pakdosen.co.id, web digital berbagi ilmu pengetahuan. Kali ini PakDosen akan membahas tentang Pendidikan? Mungkin anda pernah mendengar kata Pendidikan? Disini PakDosen membahas secara rinci tentang pengertian, pengertian menurut para ahli, kualitas, penyebab, permasalahan, solusi dan cara. Simak Penjelasan berikut secara seksama, jangan sampai ketinggalan.

Pendidikan Adalah

Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Kemdiknas), dahulu bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Depdikbud).


Di Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Saat ini, pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama, yaitu formal, nonformal, dan informal. Pendidikan juga dibagike dalam empat jenjang, yaitu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi.


Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli

Berikut ini adalah beberapa pengertian pendidikan menurut para ahli yaitu:

1. Ki Hajar Dewantoro

Pendidikan adalah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.


2. Menurut H. Horne

Adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.


3. Menurut John Dewey

Mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.


4. Menurut Thompson

Mengungkapkan bahwa Pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sifatnya.


5. Menurut Wikipedia

Pendidikan  adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.


Kualitas Pendidikan di Indonesia

Kualitas pendidikan Indonesia jelas masih sangat tertinggal jika dibandingkan dengan Negara Negara tetangga seperti, Malaysia, Singapura, dan Brunei. Hal tersebut dapat dilihat melalui Human Development Index/ Indeks Pembangunan Manusia pada tahun 2006 , jika dibandingkan dengan beberapa Negara tetangga, Indonesia menempati urutan ke-108 dari 177 Negara, angka ini masih sangat jauh jika melihat Singapura, Brunei, dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan 25, 34 dan 61. Peringkat HDI tersebut menempatkan Indonesia di level menengah sedangkan, Singapura, Brunei dan Malaysia berada pada level tinggi.Namun trend positif menandai indeks pembangunan di Indonesia yang secara linier mengalami kenaikan Pada tahun 2007 dimana IPM Indonesia mengalami kenaikan menjadi 0.728 dari 0,711 pada tahun 2006, laporan ini dikeluarkan oleh UNDP pada 27 November 2007, namun hal tersebut tidak mengubah urutan Indonesia yang masih berada pada peringkat 108 sedunia dan masih dibawah Vietnam.

Baca Lainnya :  Ideologi Komunisme

Penilaian tersebut diantaranya usia harapan hidup menempatkan Indonesia pada posisi ke-100. Tingkat pemahaman aksara dewasa di Indonesia menempati urutan 56. Tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi ada di urutan 110. Sedangkan untuk pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita berada di posisi 113. Pencapaian IPM Indonesia beberapa tahun terakhir tentu berjalan linier dengan proses pembangunan manusia yang diterapkan pada program-program pembangunan. Indeks ini merupakan sebuah raport pembangunan manusia yang dicapai oleh pemerintah dan bangsa Indonesia. Deskripsi kuantitatif tersebut dapat menyadarkan semua elemen bangsa bahwa masih banyak kekurangan atau masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Perhatian khusus ditujukan pada pemerintah untuk mampu bangkit mengejar ketertinggalan, dengan melakukan penataan kedalam (birokrasi). Demikian pula kita harapkan kebijakan publik yang lahir akan semakin mementingkan pembangunan manusia, sehingga terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur bukan semakin menjauh dari sasaran.


Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia

Hingga saat ini, setelah lebih dari 63 tahun kemerdekaan Indonesia, kita masih menghadapi menghadapi kenyataan yang menunjukkan bahwa cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa belum terwujud secara optimal. Hal ini tentunya menjadi penghalang dalam meningkatkan pembangunan di Indonesia. Saat ini setidaknya ada dua masalah besar yang mendasari buruknya kualitas pendidikan di Indonesia, pertama, permasalahan akses pendidikan, yakni pemerataan kesempatan bagi setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan dan kedua, permasalahan kualitas dan relevansi pendidikan, yang dapat menyebabkan kurangnya daya saing lulusan. Kedua permasalahan ini erat kaitannya dengan tata kelola dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pendidikan yang juga berdampak kepada citra masyarakat terhadap pendidikan nasional.


Permasalahan Akses Pendidikan

Kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, merupakan hal yang dilindungi oleh undang-undang, tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Bab III. Kesempatan itu diberikan kepada setiap warga Negara tanpa melihat latar apapun, baik keterjangkauan daerah tempat tinggal, etnis, agama, gender, status sosial-ekonomi maupun keunggulan fisik atau mental. Dewasa ini kita masih menjumpai berbagai kenyataan yang menunjukkan bahwa masih terkendalanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang dialami oleh anak-anak yang hidup di daerah-daerah terpencil. Masalah ini bukan hanya terkait akses terhadap pendidikan berkualitas semata, tetapi pendidikan dengan tingkat kelayakan atau kualitas yang terbatas pun masih sangat sulit untuk diperoleh.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas menetapkan pendidikan kategori pertama ini, yaitu yang termasuk program wajib belajar adalah jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun, yang meliputi SD/Mi dan SMP/Mts. Jenjang pendidikan berikutnya, yaitu pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, bukan termasuk kategori program wajib belajar. Jenjang-jenjang pendidikan ini meskipun pada prinsipnya setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti pendidikan pada jenjang-jenjang pendidikan itu, namun ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk memasukinya, oleh karena itu, akses diberikan kepada mereka yang memenuhi persyaratan tersebut. Sedangkan yang tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut tidak mampu memperoleh akses untuk pendidikan. Fenomena tersebut adalah bentuk dari kesenjangan pendidikan di Indonesia.
Kesenjangan pendidikan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah pada pedesaan dan perkotaan. Pada tahun 2003 rata-rata APS penduduk perdesaan usia 13-15 tahun pada tahun 2003 sebesar 75,6 %. Sementara APS penduduk perkotaan untuk periode dan kelompok usia yang sama sudah mencapai 89,3 %. Kesenjangan yang lebih nyata terlihat untuk kelompok usia 16-18 tahun. APS penduduk perkotaan tercatat sebesar 66,7 % sedangkan penduduk perdesaan sebesar 38,9% atau separuh penduduk perkotaan.
Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2003 menunjukkan bahwa faktor ekonomi (75,7%) merupakan alasan utama putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki biaya sekolah (67,0%) maupun karena harus bekerja (8,7%). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya angka partsipasi sekolah pada masyarakat kota dan penduduk kaya dikarenakan tingkat pendapatan mereka relatif lebih tinggi dibanding penduduk yang tinggal di desa dan masyarakat miskin.
Status pendidikan penduduk di perkotaan dan perdesaan bisa dikaitkan dengan besar pengeluaran rumah tangga mereka per bulan. Mayoritas penduduk di desa memiliki besar pengeluaran rumah tangga Rp 100.000-Rp 149.000 sebulan. Sementara penduduk di kota lebih besar pengeluarannya, yaitu pada rsentang Rp 200.000-Rp 299.000. Ada dua hal yang melatar belakangi lebih besarnya pengeluaran rumah tangga per bulan penduduk perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Pertama, biaya hidup di kota lebih tinggi sehingga pengeluaran pun lebih besar. Kedua, penghasilan penduduk perkotaan lebih besar. Ketimpangan ini secara tidak langsung berdampak pada kesempatan mereka meperoleh pendidikan. Jumlah pengeluaran yang lebih besar penduduk perkotaan mampu mengalokasikan dana lebih besar pula untuk pendidikan.
Berdasarkan data dari Biro pusat Statistik tahun 2004, Kesenjangan akses pendidikan juga dapat dilihat dari angka melek aksara. Penduduk melek aksara usia 15 tahun ke atas sekitar 90,4 %, dengan perbandingan laki-laki sebesar 94,6% dan perempuan sebesar 86,8%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 94,6% dan di perdesaan 87%. Berdasarkan kelompok usia penduduk, angka melek aksara terbesar adalah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sekitar 98,7%.
Ini menunjukkan keberhasilan dari program wajib belajar 9 tahun. Angka buta aksara pada kelompok usia ini masih ada sekitar 1,3 % yang buta aksara.

Baca Lainnya :  Wartawan adalah

Permasalahan Akses Pendidikan

Kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, merupakan hal yang dilindungi oleh undang-undang, tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Bab III. Kesempatan itu diberikan kepada setiap warga Negara tanpa melihat latar apapun, baik keterjangkauan daerah tempat tinggal, etnis, agama, gender, status sosial-ekonomi maupun keunggulan fisik atau mental. Dewasa ini kita masih menjumpai berbagai kenyataan yang menunjukkan bahwa masih terkendalanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang dialami oleh anak-anak yang hidup di daerah-daerah terpencil. Masalah ini bukan hanya terkait akses terhadap pendidikan berkualitas semata, tetapi pendidikan dengan tingkat kelayakan atau kualitas yang terbatas pun masih sangat sulit untuk diperoleh.


Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas menetapkan pendidikan kategori pertama ini, yaitu yang termasuk program wajib belajar adalah jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun, yang meliputi SD/Mi dan SMP/Mts. Jenjang pendidikan berikutnya, yaitu pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, bukan termasuk kategori program wajib belajar. Jenjang-jenjang pendidikan ini meskipun pada prinsipnya setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti pendidikan pada jenjang-jenjang pendidikan itu, namun ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk memasukinya, oleh karena itu, akses diberikan kepada mereka yang memenuhi persyaratan tersebut. Sedangkan yang tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut tidak mampu memperoleh akses untuk pendidikan. Fenomena tersebut adalah bentuk dari kesenjangan pendidikan di Indonesia.


Kesenjangan pendidikan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah pada pedesaan dan perkotaan. Pada tahun 2003 rata-rata APS penduduk perdesaan usia 13-15 tahun pada tahun 2003 sebesar 75,6 %. Sementara APS penduduk perkotaan untuk periode dan kelompok usia yang sama sudah mencapai 89,3 %. Kesenjangan yang lebih nyata terlihat untuk kelompok usia 16-18 tahun. APS penduduk perkotaan tercatat sebesar 66,7 % sedangkan penduduk perdesaan sebesar 38,9% atau separuh penduduk perkotaan. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2003 menunjukkan bahwa faktor ekonomi (75,7%) merupakan alasan utama putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki biaya sekolah (67,0%) maupun karena harus bekerja (8,7%). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya angka partsipasi sekolah pada masyarakat kota dan penduduk kaya dikarenakan tingkat pendapatan mereka relatif lebih tinggi dibanding penduduk yang tinggal di desa dan masyarakat miskin. Status pendidikan penduduk di perkotaan dan perdesaan bisa dikaitkan dengan besar pengeluaran rumah tangga mereka per bulan. Mayoritas penduduk di desa memiliki besar pengeluaran rumah tangga Rp 100.000-Rp 149.000 sebulan.

Baca Lainnya :  Distribusi Frekuensi

Sementara penduduk di kota lebih besar pengeluarannya, yaitu pada rsentang Rp 200.000-Rp 299.000. Ada dua hal yang melatar belakangi lebih besarnya pengeluaran rumah tangga per bulan penduduk perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Pertama, biaya hidup di kota lebih tinggi sehingga pengeluaran pun lebih besar. Kedua, penghasilan penduduk perkotaan lebih besar. Ketimpangan ini secara tidak langsung berdampak pada kesempatan mereka meperoleh pendidikan. Jumlah pengeluaran yang lebih besar penduduk perkotaan mampu mengalokasikan dana lebih besar pula untuk pendidikan. Berdasarkan data dari Biro pusat Statistik tahun 2004, Kesenjangan akses pendidikan juga dapat dilihat dari angka melek aksara. Penduduk melek aksara usia 15 tahun ke atas sekitar 90,4 %, dengan perbandingan laki-laki sebesar 94,6% dan perempuan sebesar 86,8%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 94,6% dan di perdesaan 87%. Berdasarkan kelompok usia penduduk, angka melek aksara terbesar adalah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sekitar 98,7%. Ini menunjukkan keberhasilan dari program wajib belajar 9 tahun. Angka buta aksara pada kelompok usia ini masih ada sekitar 1,3 % yang buta aksara.


Solusi dari Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Agar pendidikan nasional berjalan pada jalurnya, maka diperlukan upaya-upaya yang diharapkan dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Upaya-upaya itu sebenarnya merupakan langkah awal dalam pembangunan pendidikan dalam konteks pembangunan nasional. Berikut ini adalah solusi yang dapat dilakukan guna memperbaiki pendidikan nasional sehingga mampu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.


Cara Mengatasi Permasalahan Akses Pendidikan

Sampai dengan tahun 2009 dilakukan berbagai upaya sistematis dalam pemerataan dan perluasan pendidikan, khususnya dalam konteks pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun memperhatikan pelayanan yang adil dan merata bagi penduduk yang menghadapi hambatan ekonomi dan sosial-budaya (yaitu penduduk miskin, memiliki hambatan geografis, daerah perbatasan, dan daerah terpencil). Demikian juga anak-anak yang memiliki kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual. Strategi yang diambil antara lain dengan membantu dan mempermudah mereka yang belum berkesempatan mengikuti pendidikan, baik di sekolah atau di madrasah, putus sekolah, serta lulusan SD/MI/SDLB yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB yang masih besar jumlahnya, untuk memperoleh layanan pendidikan. Dalam strategi ini juga ditempuh penerapan kelas-kelas inklusi, yakni dengan memberi kesempatan kepada peserta didik yang mempunyai kelainan untuk belajar bersama peserta didik yang normal. Solusi lain yang ditawarkan adalah, peningkatan akses pendidikan melalui pembukaan kesempatan bagi pihak swasta dalam mendirikan lembaga pendidikan tinggi baru.


Namun, strategi ini harus dikaitkan dengan kualitas dalam rangka peningkatan daya saing bangsa. Dalam pengendaliannya perlu dibuat persyaratann yang ketat dalam mengijinkan partisipasi swasta ini. Untuk itu, pemerintah harus membenahi peraturan dan perundang-undangan serta memperkuat kapasitas kelembagaan yang terkait dengan fungsi pengendalian dan penjaminan kualitas. Kebijakan perluasan pendidikan tinggi ini juga diarahkan dalam upaya membuka kesempatan bagi calon mahasiswa yang berasal dari penduduk di atas usia ideal pendidikan tinggi (lebih dari 24 tahun) seperti karyawan, guru, tenaga spesialis industri, dan mencakup perluasan pendidikan non-gelar serta pendidikan profesi yang mengutamakan penguasaan pengetahuan, ketrampilam dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja industri. Untuk menjangkau populasi yang lebih luas namun terkendala oleh berbagai faktor, seperti letak geografis dan waktu, perluasan akses pendidikan tinggi juga dilakukan melalui pengembangan kapasitas pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi. Kemungkinan penggunaan modus pembelajaran jarak jauh ini bukan hanya oleh universitas terbuka tetapi juga oleh perguruan tinggi lain yang diberi izin dalam pengimplementasian strategi ini.


Demikian Penjelasan Materi Tentang Pendidikan Adalah : Pengertian, Pengertian Menurut Para Ahli, Kualitas, Penyebab, Permasalahan, Solusi dan Cara Semoga Materinya Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi.