Konvensi Adalah

Diposting pada

Selamat datang di Dosen.co.id, web digital berbagi ilmu pengetahuan. Kali ini PakDosen akan membahas tentang Konvensi? Mungkin anda pernah mendengar kata Konvensi? Disini PakDosen membahas secara rinci tentang pengertian, pengertian menurut para ahli, ciri, macam, hakekat, proses, kedudukan dan contoh. Simak Penjelasan berikut secara seksama, jangan sampai ketinggalan.

Konvensi: Pengertian Menurut Para Ahli, Ciri, Macam Serta Contohnya

Pengertian Konvensi

Konvensi ialah suatu hukum yang diperoleh secara ketentuan oleh suatu negara dan dilakukan secara berkali-kali walaupun tidak tercantum.


Pengertian Konvensi Menurut Para Ahli

Berikut ini terdapat beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian konvensi, yakni sebagai berikut:

1. Menurut Fred Lawson

Menurut pendapat dari Fred Lawson, konvensi ialah konferensi himpunan orang untuk suatu orientasi yang sama ataupun untuk berganti penalaran, falsafah dan informasi mengenai suatu keadaan yang berupa perhatian bersama.


2. Menurut KBBI

Menurut pendapat dari KBBI, konvensi ialah asas aturan yang tidak tercantum yang tampak dan terjaga dalam penerapan pengelolaan suatu negara dan dipegang teguh oleh pihak pengelolaan negara berupa suatu peranan akhlak dan tata susila.


3. Menurut Sukma Yudha

Menurut pendapat dari Sukma Yudha, konvensi ialah gabungan asas yang diperoleh masyarakat dan pemerintah secara universal.


4. Menurut Endra Yuda

Menurut pendapat dari Endra Yuda, konvensi ialah hukum aturan yang tampak dan terjaga dalam penerapan pengelolaan negara, namun berbentuk tidak tercantum.


Ciri-Ciri Konvensi

Berikut ini terdapat beberapa ciri ciri dari konvensi, yakni sebagai berikut:

  • Isi dan penerapan konvensi dapat berlangsung sebaris dan tidak bersebrangan dengan UUD 1945.
  • Tampak karena keterampilan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam pengelolaan suatu negara.
  • Dapat difungsikan berupa tambahan UUD 1945, karena dapat disusun sesuai peningkatan jaman.
  • Tidak tercantum dan tidak nisa dibetulkan sehingga kesalahan yang dilakukan, seperti oleh pemerintah, tidak dapat dibetulkan atas kesalahan tersebut.
  • Meskipun berbentuk tidak tercantum, masyarakat bisa menyepakati konvensi dan menganggap sebagai hukum dalam pengelolaan negara yang harus ditaatkan.

Macam-Macam Konvensi

Berikut ini terdapat 2 macam macam konvensi, yakni sebagai berikut:

  • Konvensi Nasional

Konvensi Nasional ialah macam jenis hukum yang tidak tercantum yang terdapat di dalam suatu negara dimana golongan yang berpartisipasi mrupakan warga negara dan pemerintah di negara itu.


  • Konvensi Internasional

Konvensi Internasional ialah macam jenis hukum tidak tercantum yang mengikutsertakan warga negara dan pemerintah dari setiap negara yang beserta mengesahkan suatu konvensi. Jumlah negara yang mengesahkan suatu konvensi internasional dapat kian naik dari periode ke periode.

Baca Lainnya :  Surat Niaga

Hakekat dan Proses Terbentuknya Konvensi

Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu, Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan – aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis. “Diakuinya konvensi sebagai salah satu atau sumber hukum tata negara Republik Indonesia, menimbulkan kebutuhan untuk mengetahui hakekat dan seluk-beluknya”. Konvensi Ketatanegaraan jika dipahami dalam realita konstitusional, maka kehadiran konvensi kelengkapan yang merupakan suatu keharusan bagi UUD 1945 dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman dalam bidang ketatatnegaraan.


Di Indonesia, konvensi tumbuh menurut atau sesuai dengan kebutuhan negara Indonesia. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa konvensi tidak dapat diimpor dari sistem ketatanegaraan negara lain yang mungkin berbeda asas dan karakternya dengan sistem ketatanegaraan Indonesia walaupun sama-sama sistem Presidensil. Sistem parlementer yang telah berurat berakar dalam sistem ketatanegaraan di negara-negara barat atau sistem kerajaan di Inggris dan beberapa negara lain sudah barang tentu tak sesuai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945 yang dalam pemahaman P4 yang lalu harus memenuhi syarat :

  1. Tidak bertentangan dengan isi, arti dan maksud UUD1945.
  2. Sifatnya melengkapi, mengisi kekosongan ketentuan yang tidak diatur secara jelas dalam UUD dan menetapkan pelaksanaan UUD.
  3. Terjadi berulang – ulang dan dapat diterima oleh masyarakat.
  4. Konvensi hanya terjadi di tingkat nasional saja.

Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan di atas dapat diketahui bagaimana peranan konvensi dalam praktik penyelenggaraan negara. Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah UUD 1945. Oleh karena itu, konvensi tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, konvensi berperan sebagai partnership memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah sistem UUD 1945. Dengan demikian pada Hakekatnya Konvensi Ketatanegaraan adalah kaidah hukum di bidang ketatanegaraan dan salah sumber penting hukum Tata Negara. Wheare sebagaimana yang dikutif oleh Bagir Manan menyatakan bahwa, Konvensi terbentuk dengan dua cara, yaitu :

Pertama, suatu praktek tertentu berjalan untuk jangka waktu yang mula-mula bersifat persuasif, kemudian diterima sebgai suatu hal yang wajib (kewajiban). Konvensi yang terjadi dengan cara ini tergolong sebagai kebiasaan (custom).

Kedua, Konvensi terjadi melalui kesepakatan (agreement) di antara rakyat. Mereka sepakat melaksanakan sesuatu dengan cara-cara tertentu, dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai cara-cara pelaksanaannya. Ketentuan semacam ini langsung mengikat. Langsung menjadi konvensi, tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu seperti konvensi yang tumbuh melalui kebiasaan. Karena konvensi dapat terjadi melalui kesepakatan, maka dimungkinkan ada konvensi dalam bentuk tertulis. Kesepakatan semacam ini dapat dibuat antara pimpinan-pimpinan partai. Atau dalam bentuk memorandum sebagai hasil diskusi antara para menteri.


Kedudukan Konvensi

Setelah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merupakan negara  yang merdeka. Sehari setelah kemerdekaan tersebut, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkan pula Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai Konstitusi tertulis Negara Republik Indonesia. Berlakunya UUD 1945 sebagai Konstitusi di Indonesia terbagai menjadi dua tahap yaitu tahap pertama 18 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, kemudian tahap kedua sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sampai sekarang.

Baca Lainnya :  Dinamika Sosial

Sejak ditetapkannya UUD 1945 sebagai norma hukum dasar tertinggi, hingga saat ini tentunya telah banyak pula  Konvensi Ketatanegaraan yang dilakukan dalam praktek penyelenggaran Indonesia baik Konvensi Ketatanegaraan yang bersifat kebiasaan ketatanegaraan (costum) maupun Konvensi Ketatanegaraan yang bersifat kesepakatan (agrement). Dari penyelusuran terhadap, pada periode Orde Baru, sejak tahun 1966 terdapat beberapa praktik ketatanegaraan yang dapat dipandang sebagai konvensi yang sifatnya melengkapi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Contoh konvensi-konvensi yang pernah timbul dan konvensi yang tetap terpelihara dalam praktik penyelenggaraan Negara Indonesia:

  • Praktik di Lembaga Tertinggi Negara bernama Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Padahal dalam Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa ‘‘segala putusan Majelis  Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak’’. Pasal ini tidak menyebutkan bentuk pelaksanaan untuk mendapatkan suara terbanyak tersebut, melalui Musyawarah atau Voting.

  • Seperti telah diuraikan di atas yaitu pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan Sidang Paripurna DPR yang di satu pihak memberi laporan pelaksanaan tugas pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat, dan di lain pihak mengandung arah kebijaksanaan tahun mendatang. Secara konstitusional tidak ada ketentuan yang mewajibkan presiden menyampaikan pidato resmi tahunan semacam itu di hadapan Sidang Paripurna DPR. Karena presiden tidak tergantung DPR dan tidak bertanggung jawab pada DPR, melainkan presiden bertanggung jawab kepada MPR. Kebiasaan ini tumbuh sejak Orde Baru yang hingga sekarang masih tetap dilakukan.

  • Jauh hari sebelum MPR bersidang presiden telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR yang akan datang itu. Dalam UUD 1945 hal ini tidak diatur, bahkan menurut Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen MPR-lah yang harus merumuskan dan akhirnya menetapkan Garis Besar Haluan Negara(GBHN). Namun untuk memudahkan MPR, presiden menghimpun rancangan GBHN yang merupakan sumbangan pikiran Presiden sebagai Mandataris MPR yang disampaikan dalam upacara pelantikan anggota-anggota MPR. Hal tersebut merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, yang sudah berulang kali dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.

  • Pada setiap minggu pertama bulan Januari, Presiden Republik Indonesia selalu menyampaikan penjelasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di hadapan DPR, perbuatan presiden tersebut termasuk dalam konvensi. Hal ini pun tidak diatur dalam UUD 1945, dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu”. Penjelasan oleh Presiden mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang APBN di depan DPR yang sekaligus juga diketahui rakyat sangat penting, karena keuangan negara itu menyangkut salah satu hak dan kewajiban rakyat yang sangat pokok. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian penjelasan UUD 1945.
Baca Lainnya :  Gelombang Radio

  • Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam praktik ketatanegaraan di bawah Pemerintahan Orde Baru. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa : “menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan”. Jika ditinjau dari ketentuan Pasal 17 ayat 3 UUD 1945, maka menteri-menteri itu harus memimpin Departemen. Namun demikian dalam praktik ketatanegaraan di masa Orde Baru dengan kabinet yang dikenal Kabinet Pembangunan, komposisi menteri dalam tiap-tiap periode Kabinet Pembangunan di samping ada Menteri yang memimpin Departemen, terdapat juga Menteri Negara Nondepartemen. Adanya Menteri Nondepartemen berkaitan dengan kebutuhan pada era pembangunan dewasa ini. Karena adanya Menteri Negara Nondepartemen sudah berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara, maka dapatlah dipandang sebagai konvensi dalam ketatanegaraan kita dewasa ini. Tidaklah dapat diartikan bahwa adanya Menteri Negara Nondepartemen mengubah UUD 1945. Karena barulah terjadi perubahan terhadap UUD 1945 apabila prinsip-prinsip konstitusional yang dianut telah bergeser, misalnya menteri-menteri kedudukannya tidak lagi tergantung presiden dan bertanggung jawab pada presiden. Dalam hal ini misalnya menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada DPR dan kedudukannya tergantung DPR.

  • Pada masa Orde Baru, pengesahan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh DPR. Secara konstitusional presiden sebenarnya mempunyai hak untuk menolak mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui DPR, sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 21 ayat 2 UUD 1945. Tetapi dalam praktik presiden belum pernah menggunakan wewenang konstitusional tersebut, presiden selalu mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, meskipun Rancangan Undang-undang itu telah mengalami berbagai pembahasan dan amandemen di DPR. Rancangan Undang-undang kebanyakan berasal dari Pemerintah (Presiden) sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Dalam pembahasan RUU tersebut kedudukan DPR merupakan partner dari presiden c.q pemerintah. Maka pengesahan Rancangan Undang-undang oleh Presiden sangat dimungkinkan karena RUU tersebut akhirnya merupakan kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah.

Contoh Konvensi

Berikut ini terdapat beberapa contoh dari konvensi, yakni sebagai berikut:

  1. Konvensi Hak Cipta Universal
  2. Upaca Pengibaran Bendera
  3. Pemilihan Menteri oleh Presiden
  4. Konvensi Internasional tentang Hak Cipta(Berner)
  5. Menteri Non-Departemen
  6. Rehabilitasi
  7. Amnesti

Demikian Penjelasan Materi Tentang Konvensi Adalah: Pengertian, Pengertian Menurut Para Ahli, Ciri, Macam, Hakekat, Proses, Kedudukan dan Contoh Semoga Materinya Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi.