Selamat datang di Dosen.co.id, web digital berbagi ilmu pengetahuan. Kali ini PakDosen akan membahas tentan Kerajaan Banten? Mungkin anda pernah mendengar kata Kerajaan Banten? Disini PakDosen membahas secara rinci tentang pengertian, sejarah, raja, peninggalan, masa, keruntuhan, silsilah dan aspek. Simak Penjelasan berikut secara seksama, jangan sampai ketinggalan.
Pengertian Kerajaan Banten
Kerajaan Banten ialah suatu kerajaan islam yang sudah lahir di tanah Pasundan, Banten. Sekitar pada tahun 1526 M, era kerjaan Cirebon dan kerjaan Demak memperdalam kekuasaan ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menguasai beberapa kawasan pelabuhan dan membentuk sebuah pangkalan militer serta kawasan perdagangan sebagai proyeksi terlaksana perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis pada tahun 1522 M.
Sejarah Kerajaan Banten
Pada awal abad ke-16, kawasan padjajaran dulu adalah beragama hindu. Titik sentral kerajaan kerajaan padjajaran berada di kawasan pakuan. Kerajaan Padjajaran mempunyai pelabuhan penting misalnya banten, sunda kelapa dan cirebon. Padjajaran dan portugis telah bersekutu, untuk itu portugis diizinkan oleh kerajaan Padjajaran untuk membangun kantor dagang dan benteng penjagaan di sunda kelapa. Sultan Trenggono mempunyai rencana untuk menguasai pelabuhan Padjajaran dengan memerintahakan panglima mereka yakni Fatahilah, guna membatasi pengaruh bangsa Portugis di Padjajaran. Sekitar pada tahun 1526 M, armada-armada perang Demak berhasil mengendalikan Banten. Setelah itu, sekitar pada tahun 1527 M, pasukan Fatahilah berhasil merampas pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis.Setelah berhasil merebut pelabuahan, Sultan Trenggono mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayajarta (Kota Kemenangan).
Dalam waktu yang ringkat tersebut, seluruh pantai utara Jawa barat bisa dirampas oleh panglima Fatahillah, sedikit demi sedikit agama islam muali menjalar di jawa barat. Panglima Fatahillah selanjutnya menjadi ulama besar dengan gelar Sunan Gunung Jati dan berpusat di Cirebon. Pada tahun 1552 M, putra dari Sunan Gunung Jadi yang bernama Hasanudin naik tahta menjadi penguasa Banten. Sedangkan putra lainnya, Pasarean naik tahta menjadi pemerintahan di Cirebon. Sunan Gunung jadi membangun pesantren di gunung jati, Cirebon sampai beliau wafat sekitar tahun 1568 M. Berawal munculnya kerajaan Banten adalah dari kawasan kedaulatan kerajaan Demak.
Raja dari Kerajaan Banten
Ada beberapa raja yang pernah berkuasa di kerjaan Banten, yakni sebagai berikut:
-
Sultan Hasanuddin
Pada ketika terjadi persengketaan kedaultan di kerajaan Demak, Banten dan Cirebon berupaya untuk melepaskan diri dari kedaulatan kerajaan Demak. Pada akhirnya, Banten dan Cirebon sukses bebas dari kekuasaan demak dan menjadi kerajaan yang otonom. Raja pertama kerajaan demak ialah Sultan Hasanuddin, beliau berkuasa selama 18 tahun (1552-1570 M). Pada periode kerajaannya, Banten sukses menaklukkan Lampung yang mempunyai banyak sekali hasil bumi berupa rempah-rempah dan juga Selat Sunda yang merupakan jalur perdagangan. Selama berkuasa di Banten, sultan Hasanuddin berhasil mendirikan sebuah pelabuhan Banten menjadi pelabuhan yang ramai berkunjung berdagang dari berbagai bangsa di dunia. Setelah itu, Banten berkembang menjadi pelabuhan perdagangan dan sekaligus menyebarkan agama islam. Setelah sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570 M, putranya yang bernama Maulan Yusuf menggantikan ayahnya untuk menjadi raja Kerajaan Banten.
-
Maulana Yusuf
Maulana Yusuf mulai berkuasa di kawasan Banten pada tahun 1570-1580 M. Pada tahun 1579, Maulana Yusuf sukses menggulung kerajaan padjajaran di Pakuan, serentak Maulana Yusuf berhasil mengasingkan raja padjajaran yakni Prabu Sedah. Setelah raja mereka kalah dari Maulana Yusuf, rakyat dari padjajaran berlari dan pindah ke kawasan pengunungan dan rakyat padjajaran dikenal sebagai rakyat Baduy yang tinggal dikawasan rangkasbitung, Banten.
-
Maulana Muhammad
Setelah Maulana Yusuf Wafat, kekuasaan kerajaan diambil alih oleh putranya yang bernama Maulana Muhammad yang masih berumur 9 tahun. Akibat masih terlalu muda untuk berkuasa di kerajaan, kemudian kerajaan dijalankan oleh Mengkubumi Jayanegara sampai Maulana Muhammad tumbuh hingga dewasa (1580-1596). Enam belas tahun kemudian, Sultan Maulana Muhammad menyerbu kerajaan Palembang yang dibangun oleh seorang bangsawan Demak yakni Ki Gendeng Sure. Kerajaan Banten yang masih keturunan Demak menganggap berhak atas kawasan Palembang, akan tetapi, kerajaan Banten mendapati kekalahan atas dan Sultan Maulana Muhammad tewas dalam pertempuran tersebut.
-
Pangeran Ratu (Abdul Mufakhir)
Pangeran Abdul Mufakhir yang masih berusia 5 bulan menjabat sebagai sultan Banten yang keempat yang berkuasa dari tahun 1596-1651. Karena masih muda, kekuasaan dijalankan oleh Mangkubumi Ranamanggala sampai pangeran dewasa. Pangeran Abdul Mufakhir memperoleh gelar kanjeng ratu Banten. Setelah wafat, Pangeran Abdul Mufakhir berganti oleh anaknya yang bernama sultan Ageng Tirtaayasa.
-
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Banten sejak tahun 1651 M sampai 1682 M. Pada masa kekuasaannya kerajaan Banten mencapai masa kejayaannya. Sultan Ageng Tirtayasa berupaya memperbanyak kawasan kerajaan. Pada tahun 1671 M, Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan putranya menjadi raja ajudan dengan gelar sultan Abdul Kahar. Sultan Abdul Kahar mempererat hubungan baik dengan bangsa Belanda. Mendengar kabar tersebut, sultan Ageng Tirtayasa kecewa dan mengambil kembali jabatan yang diberikan kepada sultan Abdul Kahar, kemudian sultan Abdul Kahar konsisten berusaha menjaga jabatannya dengan meminta bantuan kepada bangsa Belanda. Akibat tersebut, terjadilah perang saudara antara sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya sultan Abdul Kahar. Dalam pertempuran tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa ditawan lalu dipenjarakan di Batavia sampai beliau wafat pada tahun 1691 M.
Peninggalan Kerajaan Banten
Berikut ini beberapa peninggalan dari kerajaan Banten, yakni sebagai berikut:
1. Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten didirikan sekitar tahun 1652 M, Terjadi pada masa kekuasaan putra pertamanya sultan Hasanuddin yakni Sultan Maulana Yusuf. Masjid Agung Banten terletak di desa Banten lama, Kecamatan Kasemen.
2. Istana Keraton Kaibon
Dahulu, Istana Keraton Kaibon adalah kediaman ibu dari Sultan Syaifudin yakni Bunda Ratu Aisyah. Akan tetapi, sekarang rumah tersebut hanya tinggal puing-piung saja.
3. Istana Keraton Surosowan
Istana Keraton Surosowan dahulunya adalah tempat tinggal Sultan Banten sekaligus tempat pusat kekuasaan kerajaan Banten. Akan tetapi sekarang hanya tinggal puing-piung saja.
4. Benteng Speelwijk
Benteng Speelwijk berguna untuk penjagaan dari gempuran armada laut dan juga berfungsi untuk memantau aktivitas perjalanan di sekitar Selat Sunda.
5. Meriam Ki Amuk
Meriam ini di ninamakan Ki Amuk karena kabarnya mengatakan meriam ini mempunyai kemampuan tembakan sangat jauh dan kemampuan ledaknya sangat besar. Meriam Ki Amuk adalah hasil jarahan kerajaan Banten kepada kekuasaan bangsa Belanda pada masa perang.
Masa Kejayaan Kerajaan Banten
Kerajaan Banten mendapati kejayaan pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1651-1682. Pada pemerintahan sultan Agen Tirtayasa, Banten berhasil mendirikan armada-armada laut. Sultan Ageng Tirtayasa sangat memprotes Belanda yang mendirikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan berupaya berhenti dari desakan VOC yang telah mengisolasi kapal dagang menuju Banten. Banten juga melancarkan monopoli lada di Lampung yang menjadi penghubung perdagangan dengan negara lainnya, sehingga Banten menjadi kawasan berbagai bangsa dengan perdagangan yang berkembang dengan cepat.
Keruntuhan Kerajaan Banten
Menurut versi orang Banten, keruntuhan Banten memiliki dua versi. Versi pertama yaitu tidak dinobatkannya Sultan Banten di atas Batu Gilang. Versi kedua adalah karena tindakan Pangeran Mangkubumi yang membunuh utusan Belanda yang bernama Kapten Du Puy. Diceritakan bahwa pada mulanya Maulana Hasanuddin, putra Syarif Hidayatullah, bertapa di atas batu untuk bersimpuh yang bernama Batu Gilang. Karena khusuknya dan lamanya beliau bertapa, beliau tidak sadar bahwa peci yang dikenakannya sudah menjadi sarang burung. Maksud dan tujuan beliau bertapa adalah untuk meminta petunjuk di mana tempat yang baik untuk mengajarkan agama Islam. Tiba-tiba, batu yang digunakan untuk bertapa ini seakan-akan terbang dan di sekelilingnya terdapat air laut. Maulana Hasanuddin beserta Batu Gilang terombang-ambing di atas laut dan terdampar di daratan yang saat ini dikenal dengan kota Banten lama. Di sinilah Maulana Hasanuddin mendirikan Kesultanan Banten pertama kali. Oleh karena itu semua Sultan Banten yang akan dinobatkan menjadi raja harus dinobatkan di atas Batu Gilang ini.
Belanda yang saat itu mengincar wilayah Banten untuk dijadikan jajahannya tidak berhasil untuk menundukkan Banten yang saat itu menjadi kota pelabuhan yang sangat besar. Belanda melihat bahwa salah satu penyebab sukarnya Banten ditaklukkan karena adanya Batu Gilang ini. Oleh karena itu, Belanda membuat tiruan dari batu gilang ini yang disebut sebagai Singayaksa. Semenjak Sultan yang kelima, Sultan tidak dilantik lagi di atas Batu Gilang, melainkan dinobatkan di atas batu Singayaksa. Menurut anggapan masyarakat Banten dengan dinobatkannya para Sultan di atas batu Singayaksa inilah yang menyebabkan kehancuran Kesultanan Banten. Versi kedua, keruntuhan Kesultanan Banten diakibatkan oleh perlawanan Sultan Shafiuddin kepada pihak Belanda. Diceritakan bahwa Daendels yang saat itu menjadi Gubernur Jendral di Batavia, ingin membuat jalan dari Anyer sampai Panarukan dan membangun pelabuhan angkatan laut di Ujung Kulon.
Karena hanya bermodalkan uang sedikit dan mengejar waktu pembangunan jalan yang harus selesai selama satu tahun, maka dilaksanakanlah apa yang disebut sebagai kerja paksa. Untuk melaksanakan dua proyek besar itu, Sultan Banten harus menyediakan tenaga sebanyak 1.000 orang setiap harinya. Namun, karena kondisi alam yang banyak rawanya serta berlumpur, banyak penduduk Banten yang mati karena penyakit dan mati karena disiksa. Kabar kematian penduduk yang banyak itu didengar oleh Sultan Shafiuddin, sehingga beliau memutuskan untuk tidak mengirimkan penduduknya untuk mengerjakan proyek itu. Tiba-tiba datanglah Kapten Du Puy, utusan Gubernur Jenderal dari Batavia menghadap Sultan Banten. Akan tetapi, ketika Du Puy akan memasuki istana, tidak disambut dengan tabik tuan, melainkan disambut dengan ayunan pedang oleh mangkubumi istana, hingga lehernya putus. Mendengar berita ini Daendels memerintahkan untuk menangkap Sultan Banten dan menghancurkan istananya.
Sultan Shafiuddin dibuang ke Ambon, sementara istananya dibakar oleh militer Belanda. Orang Banten dikejar dan dibunuh. Oleh karena itu banyak penduduk dan ulama Banten (Tubagus) yang melarikan diri ke Sumedang, Lampung, dan wilayah lain di nusantara ini. Jadi dapat dimaklumi apabila saat ini di luar wilayah Banten banyak ditemukan nama Tubagus yang mengaku nenek moyangnya orang Banten. Setelah itu pemerintahan di Banten diambil alih oleh pemerintah Belanda. Untuk meredam gejolak orang Banten, Belanda mengangkat Sultan yang ke-21 yakni Sultan Rafiuddin, yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Bahkan untuk makan saja, Sultan menerima gaji dari Belanda, dan tidurnya pun di istana ibunya yang bernama Istana Kaibon. Belanda memang menghendaki hilangnya Kesultanan Banten. Oleh karena itu, Istana Kaibonan pun akhirnya dihancurkan. Bahkan, pada saat membangun kantor dan tempat tinggal residen Serang, batu bata dan kayu serta perlengkapan rumah lainnya yang ada di Istana Kaibon dibawa ke kota Serang.
Menurut sumber sejarah, Kesultanan Banten mulai berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda semenjak Sultan Banten menandatangani perjanjian dengan Belanda yang dilakukan oleh Sultan Safiuddin pada tanggal 28 Nopember 1808. Setelah penandatangan dan pengucapan sumpah pada tanggal itu, istana Sorosowan yang juga dikenal dengan istilah katiban Intan dihancurkan belanda sebagai hukuman atas meninggalnya pejabat tinggi negara dan pejabat rendah yang dibunuh oleh abdi dalem Sultan. Masyarakat Banten menganggap bahwa akar kehancuran Kesultanan Banten adalah karena para raja terakhirnya tidak dinobatkan di atas Batu Gilang. Batu Gilang adalah simbol kehidupan kerohanian para penganutnya. Simbol Batu Gilang adalah warisan leluhur yang di menjadi peletak dasar perkembangan agam Islam di Banten. Oleh karena itu, apabila orang atau masyarakat ingin hidup tenang, damai, sejahtera, maka yang paling utama adalah tidak boleh melupakan ibadah dan leluhur mereka. Dengan demikian bagi masyarakat Banten ibadah menjadi suatu kegiatan yang tidak boleh diabaikan. Ibadah merupakan suatu kegiatan yang wajib dan harus dijalankan oleh masing-masing individu.
Proses hadirnya Batu Gilang yang menurut tradisi lisan yang tertuang dalam dongeng merupakan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berlangsung dari dulu hingga kini. Apabila masyarakat mengabaikan sistem nilai yang berlaku maka tampak jelas bagi mereka reruntuhan kerajaan Sorosowan yang merupakan simbol kehancuran duniawi sebagai akibat dari tidak dijalankannya sistem nilai yang berlaku di Banten. Rakyat Banten harus melarikan diri ke luar Banten ketika benteng Sorosowan dihancurkan. Fenomena banyaknya orang yang mengaku sebagai orang banten yang tinggal di kota lain disebabkan karena para adipati Banten ini diburu dan dibunuh. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pada saat penyerangan dan penghancuran istana Sorosowan banyak adipati Banten yang dibunuh, yang tidak dilaporkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Silsilah Raja Kesultanan Banten
Berikut ini adalah beberapa silsilah raja kesultanan banten yaitu:
- Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570)
- Sultan Maulana Yusuf (1570-1580)
- Sultan Maulana Muhammad (1580-1596)
- Pangeran Ratu (1596-1651)
- Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672)
- Sultan Haji (1672-1686)
- Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
- Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
- Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
- Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
- Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
- Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
- Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
- Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
- Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
- Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
- Aliyuddin II (1803-1808)
- Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
- Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
- Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
Aspek Kehidupan Masyarakat Kesultanan Banten
Berikut ini adalah beberapa aspek kehidupan masyarakat kesultanan banten yaitu:
-
Aspek Kehidupan Politik
Seiring kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, Banten yang sebelumnya vassal (kerajaan bawahan) Demak melepaskan diri dan menjadi kesultanan yang mandiri. Kota Surosowan didirikan sebagai ibu kota atas petunjuk Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin menjadi sultan pertama. Pada masa jayanya, wilayah kekuasaan Kesultanan Banten meliputi Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tanggerang.
-
Aspek Kehidupan Ekonomi
Banten di bawah pemerintahan sultan ageng tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama islam. Adapun faktor-faktornya ialah:
- Letaknya strategis dalam lalu lintas perdagangan
- Jatuhnya malaka ke tangan portugis, sehingga para pedagang islam tidak lagi singgah di malaka namun langsung menuju banten, banten mempunyai bahan ekspor penting yakni lada.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16.000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan.
-
Aspek Kehidupan Sosial
Sejak banten di-islamkan oleh fatahilah (faletehan) tahun 1527, kehidupan sosial masyarakat secara berangsur- angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran islam. Kehidupan sosial masyarakat banten semasa sultan ageng tirtayasa cukup baik, karena sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah sultan ageng tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan belanda dalam berbagai kehidupan sosial masyarakat berubah merosot tajam.
-
Aspek Kehidupan Budaya
Masyarakat yang berada pada wilayah Kesultanan Banten terdiri dari beragam etnis yang ada di Nusantara, antara lain: Sunda, Jawa, Melayu, Bugis, Makassar, dan Bali. Beragam suku tersebut memberi pengaruh terhadap perkembangan budaya di Banten dengan tetap berdasarkan aturan agama Islam. Pengaruh budaya Asia lain didapatkan dari migrasi penduduk Cina akibat perang Fujian tahun 1676, serta keberadaan pedagang India dan Arab yang berinteraksi dengan masyarakat setempat.
Demikian Penjelasan Materi Tentang Kerajaan Banten: Pengertian, Sejarah, Raja, Peninggalan, Masa, Keruntuhan, Silsilah dan Aspek Semoga Materinya Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi.